SUKU  Bunggu adalah nama yang diberikan kepada komunitas suku yang mendiami  daerah pegunungan di Mamuju Utara dengan pola hidup nomaden. Beberapa di  antara mereka telah berinteraksi dengan suku lain. Namun, tidak sedikit  pula yang masih bertahan hidup di pedalaman dan menjadi komunitas suku  terasing.
SETELAH  hampir selama satu jam melalui jalan milik perkebunan kelapa sawit,  akhirnya tiba juga di sebuah jembatan kayu. Di seberang jembatan berdiri  kokoh pintu gerbang berwarna putih bertuliskan selamat datang di Desa  Pakava. Desa ini merupakan salah satu perkampungan suku Bunggu yang ada  di Mamuju Utara.
Beberapa  orang di antara Suku Bunggu yang umumnya masih dikenal sebagai salah  satu komunitas suku terasing mulai mengenal interaksi dengan suku lain  dan membentuk perkampungan. Secara umum, perkampungan Suku Bunggu yang  ada di Mamuju Utara, yakni di Desa Bambaira, Desa Pakava, Desa Sarjo,  Desa Polewali, dan ada yang berbaur di pemukiman transmigrasi di Desa  Martasari.
Kehidupan  sehari-hari mereka lebih banyak digantungkan pada alam. Selama berpuluh  tahun mereka dikenal sebagai masyarakat yang memanfaatkankan hasil alam  di sekitarnya. Desa Pakava akan dijadikan enklave perkampungan adat  Suku Bunggu. Kunjungan Fajar ke komunitas Suku Bunggu yang ada di Desa  Pakava beruntung dapat menemui Yadi, raja komunitas Bunggu yang ada di  Mamuju Utara.Orangnya  sangat bersahaja, tinggi besar, berkulit legam, tetapi jauh dari kesan  angker. Umurnya 48 tahun. Yadi yang ditemui siang itu sedang mengunyah  sirih, rupanya masih terkendala dengan Bahasa Indonesia yang belum  fasih. Kendala penguasaan bahasa, baik Bahasa Indonesia maupun bahasa  suku lain, membuatnya kadang masih tertutup dan malu dengan orang lain.
Beruntunglah,  Yadi dengan senang hati bersedia mengantar Fajar menemui Naja, salah  seorang tokoh masyarakat Suku Bunggu yang ada di Desa Pakava. Bahasa  Indonesianya cukup fasih karena telah terbiasa berinteraksi dengan orang  luar, sehingga lebih mudah mengorek informasi tentang Suku Bunggu. Dari  perbincangan Fajar dengan Naja, diketahui asal-usul suku ini berasal  dari Gunung Pinambani, Sulawesi Tengah.
“Suku  Bunggu aslinya adalah Suku Kaili dari Sulawesi Tengah. Orang tua kami  kemudian menyebar ke wilayah lain misalnya, Mamuju Utara karena hutan  masih sangat lebat untuk dibuka menjadi perkampungan dan kebun seadanya.  Suku inilah yang kemudian menjadi Suku Da’a, Suku Bunggu, dan suku-suku  lainnya,” ungkapnya.
Penyebaran  mereka hingga ke Mamuju Utara dan beberapa daerah lainnya lebih banyak  dipengaruhi pola hidup nomaden atau hidup berpindah dari satu tempat ke  tempat lainnya. Rumah yang digunakan untuk berlindung dari terpaan sinar  matahari, hujan dan serangan binatang buas, selalu dalam bentuk darurat  atau tidak permanen.
Namun  sekarang, beberapa suku Bunggu mulai menemukan titik balik dari  kehidupan berkelana mereka menjadi hidup menetap dan membentuk sebuah  perkampungan. Mereka mulai mengenal rumah berdinding dan berlantai  papan. Atap memang masih tetap menggunakan daun rotan atau daun nira.
Rumah  yang mereka bangun tetap dalam ukuran yang kecil sekira 4×6 meter.  Bagian rumah tersekat menjadi dua, yakni ruang tempat menerima tamu dan  bagian rumah yang lainnya, digunakan sebagai tempat beristirahat  sekaligus langsung terhubung dengan tempat memasak. Tinggi rumah mereka  rata-rata masih setinggi 2-3 meter dengan tangga tunggal yang terbuat  dari batang kayu bulat yang dibuat coakan sebagai tempat pijakan kaki.
Suku  Bunggu yang ada di Desa Pakava mulai tinggal dan menetap pada satu  perkampungan sejak tahun 1991 lalu. Sebelumnya, mereka hidup berladang  dan berpindah-pindah dengan membuka hutan dan membentuk sebuah komunitas  atau perkampungan yang terdiri dari lima kepala keluarga (KK) atau  maksimal 30 KK. Rumah mereka dibangun di atas pohon yang tingginya dapat  mencapai 20 meter. Bentuknya sangat sederhana, sehingga sering disebut  sebagai rumah pohon.
Selain  rumah pohon, mereka juga kadang membangun rumah sederhana model  panggung setinggi 2-3 meter. Lantainya terbuat dari bilah bambu atau  kulit kayu yang dikelupas serta beralaskan tikar daun nipah atau daun  pohon sagu yang dianyam seadanya. Karena keterbatasan alat, kedua jenis  rumah ini hanya berdinding daun rotan, atau bahkan lebih banyak yang  tidak berdinding.
Tiang-tiang  rumah mereka adalah batangan kayu bulat utuh yang berukuran tidak  terlalu besar. Untuk menyambungkan bagian satu dengan yang lainnya,  tidak menggunakan paku, melainkan cukup hanya diikat rotan. “Kayu yang  kami gunakan untuk membangun rumah bukan jenis kayu yang kuat. Alat-alat  yang kami miliki hanya parang dan kampak,” kata Naja.
Naja  mengungkapkan, rumah yang dibangun seadanya itu digunakan paling lama  enam bulan karena beberapa bagian rumah sudah dimakan rayap. Setelah  itu, mereka berpindah tempat lagi dan membabat hutan untuk membuka lahan  perkebunan serta membangun rumah pohon atau rumah panggung seadanya.
Lahan  yang pernah ditinggalkan akan didatangi kembali, jika mereka  mempertimbangkan bahwa tanah tersebut telah subur kembali atau pohon  yang telah tumbuh telah dapat ditumbangkan dengan bantuan kapak. Jika  masih berupa alang-alang, mereka tidak akan kembali dan mencari lokasi  yang jauhnya sekira 5-7 kolometer dari lokasi yang ditinggalkan.
Ada  beberapa alasan mengapa mereka memilih hidup berpindah-pindah tempat.  Mereka meninggalkan tanah yang telah digarap jika salah seorang anggota  komunitas mereka ada yang sakit atau meninggal dunia. Tanah atau kawasan  tersebut dianggap sudah tidak bersahabat lagi. Mereka harus berpindah  jauh dari jasad yang disemayamkan, agar tidak terganggu dari arwah yang  meninggal.
Alasan  lain meninggalkan lahan yang telah dibuka untuk perkampungan dan  digunakan sebagai kebun selama sekira enam bulan adalah masa panen telah  habis. Ladang tempat menanam ubi atau jagung juga telah ditumbuhi  rumput atau alang-alang yang tinggi. Suku Bunggu tidak terbiasa  membersihkan ladang yang ditumbuhi rumput. 
Pada  umumnya, mereka mengkonsumsi ubi dan jagung sebagai makanan pokok.  Selain mudah ditanam, tanaman ini juga lebih cepat dipanen. Pohon sagu  dijadikan sebagai lumbung pangan, laiknya gudang beras bagi kebanyakan  orang yang menjadikan beras sebagai makanan pokok. Sagu menjadi salah  satu bahan makanan pokok sambil menunggu berbuahnya tanaman ubi rambat  dan jagung yang mereka tanam.
Saat  ini, Yadi, Naja dan sekira 30 KK Suku Bunggu yang ada di Desa Pakava  mulai mengenal kehidupan yang lebih baik dibanding saat mereka menetap  di hutan. Mereka mulai mengenal teknologi seperti televisi, radio,  ataupun sepeda motor. Kendati masih menumpang nonton di televisi  tetangga dari etnis lain, informasi dari luar mulai terserap. Perempuan  Suku Bunggu di Desa Pakava juga mulai mengenal susu instan untuk bayi  mereka.
“Kehidupan  kami sekarang boleh dikata jauh berbeda dengan saudara-saudara kami  yang masih ada di gunung. Sekarang kami telah mengenal uang, pakaian dan  kadang-kadang makan nasi. Dulu, pakaian kami terbuat dari kulit kayu  yang dipukul-pukul sampai tipis. Kalau selalu hidup pindah-pindah,  susah. Sekarang sudah ada teman dari suku lain. Tetapi adat tetap  dipertahankan supaya tidak kena bencana,” beber Naja.
POLA hidup sebagian masyarakat Suku Bunggu yang mulai berinteraksi dengan etnis lain memang sedikit berubah. Namun, ada satu yang tak pernah lekang tergerus arus perkembangan teknologi dan zaman, yakni Hukum Adat. Desa Pakava yang menjadi perkampungan Suku Bunggu yang terbuka, justru menjadi pusat pesta adat yang menjadi ritual tahunan.
POLA hidup sebagian masyarakat Suku Bunggu yang mulai berinteraksi dengan etnis lain memang sedikit berubah. Namun, ada satu yang tak pernah lekang tergerus arus perkembangan teknologi dan zaman, yakni Hukum Adat. Desa Pakava yang menjadi perkampungan Suku Bunggu yang terbuka, justru menjadi pusat pesta adat yang menjadi ritual tahunan.
PENATAAN  perkampungan Suku Bunggu di Desa Pakava, Kecamatan Pasangkayu, Mamuju  Utara, terbilang cukup apik. Bangunan dan model rumah memang sangat  sederhana dan masih mendekati bentuk asli ketika masih hidup di daerah  pegunungan dengan pola nomaden. Sisi kiri, kanan, dan belakang rumah  telah dimanfaatkan sebagai perkebunan tanaman produktif, misalnya kakao  dan jeruk.
Di  depan rumah Yadi, salah seorang tokoh adat yang merupakan raja Suku  Bunggu yang ada di Mamuju Utara, berdiri sebuah bangunan tak berdinding  yang cukup luas. Bangunan model panggung dan sangat sederhana dengan  tiang penyangga yang cukup banyak ini dinamakan Bantaya. Di Bantaya  inilah pertemuan maupun pesta adat Suku Bunggu dipusatkan.  
Sejak  masih hidup berpindah-pindah di hutan, Suku Bunggu telah mengenal  permusyawaratan adat. Selain menaati hukum pemerintah, mereka juga  sangat taat terhadap hukum adat. Salah seorang tokoh masyarakat Suku  Bunggu di Desa Pakava, Naja, menuturkan, hukum adat ini lahir dari  sesama Suku Kaili yang merupakan induk suku mereka.
Hukum  adat ini dibuat berdasarkan kesepakatan bersama dan tidak memihak  kepada siapapun. Hukum tak tertulis ini mengatur sendi-sendi kehidupan  sejak lahir sampai kembali ke sang pencipta dan diaplikasikan mulai dari  bangun tidur sampai kembali ke pembaringan. Hukum ini menjadi norma  yang diturunkan ke anak cucu mereka sebagai pedoman hidup agar tidak  salah melangkah.
Sebagai  pengatur regulasi, mereka menunjuk orang yang dituakan. Setiap  pelanggaran terhadap hukum adat dikenakan denda bagi pelakunya.  Pemberian hukuman bagi pelanggar hukum adat dibicarakan melalui  musyawarah adat di Bantaya. Hukuman yang telah disepakati oleh semua  warga yang hadir dalam musyawarah itulah yang harus dijalani oleh  pelanggar hukum adat, jika telah ikhlas menjalaninya dan harus membayar  dalam bentuk denda.
Menurut  Naja, hukuman terberat dalam hukum adat diberikan kepada warga dalam  komunitas itu yang terlibat dalam peristiwa pembunuhan. “Jangan memang  membunuh teman atau siapapun. Jika ada yang membunuh, maka akan diikat  dan dikubur bersama-sama dengan orang yang dibunuh. Semua warga kampung  harus menyaksikan. Ini untuk menghindari dendam karena sudah dikubur  sama-sama,” ungkapnya.
Hukum  lain yang juga masih diterapkan adalah pemberian hukuman atau denda  kepada warga yang diketahui memerkosa atau memegang perempuan. Warga  yang diketahui memerkosa harus dinikahkan ditambah membayar denda 4-8  ekor babi. Prosesi pernikahannya juga melalui prosesi adat. Diakuinya,  nikah adat memerlukan biaya yang cukup besar. Hukum adat yang tidak  dilaksanakan, diyakini akan membuat anak cucu “salah jalan” dalam  kehidupannya.
Besar  denda yang diberikan kepada pelanggar hukum adat disesuaikan kesalahan  dan hasil keputusan musyawarah warga. Untuk pelanggaran yang tergolong  ringan, denda dapat dibayar jika penerima denda telah ikhlas menerima  denda dan mengakui kesalahannya. “Kalau belum ikhlas, jangan dulu diberi  dendanya. Tapi denda itu akan menjadi utang dan diangga berdosa jika  belum dibayar,” terang Naja.
Suku  Bunggu juga mengenal pesta adat yang digelar setahun sekali antara  Mei-Juni dan dilaksanakan selama tiga hari. Pesta adat ini menjadi ajang  pertemuan seluruh Suku Bunggu baik yang telah hidup berbaur, maupun  yang masih hidup di pegunungan. Pesta adat ini merupakan ritual  memperingati kelahiran anak dan dilaksanakan secara bersamaan di  Bantaya.
Beberapa  ritual unik dilakukan dalam pesta adat ini. Untuk memanggil semua  komunitas Suku Bunggu yang tersebar di pedalaman, mereka tidak dipanggil  satu persatu. “Kami kirimkan tanda melalui angin panggil mereka dengan  proses adat. Memang hanya orang tertentu saja yang tahu panggilan itu  dan inilah yang disebarkan ke satu kampung (dalam satu komunitas),”  ungkap Yadi.
Aco,  salah seorang warga Pasangkayu yang beberapa kali mengikuti pesta adat  Suku Bunggu mengungkapkan, meskipun tamu yang akan datang masih jauh,  mereka sudah dapat merasakan kehadirannya. “Pernah kami bingung dengan  suara gendang yang terus ditabuh. Kata mereka ada tamu yang datang.  Setelah menunggu sekira setengah jam, tamunya baru muncul,” bebernya.
Suku  Bunggu yang hidup di pedalaman merasa lebih senang mengasingkan diri  dan tidak terbiasa melihat orang banyak. Umumnya mereka hidup  berkelompok dalam jumlah kecil. Untuk menemukan komunitas Suku Bunggu  yang tinggal di hutan, cukup sulit. Mereka menetap jauh di pedalaman di  tengah hutan yang masih lebat serta medan yang harus ditempuh sangat  berat.
Suku  Bunggu yang hidup di pedalaman tidak terbiasa bertemu orang lain di  luar komunitasnya. Jika mengetahui kehadiran orang lain, mereka  menghilang dan lari ke hutan. Bagi warga yang tinggal di sekitar  Pasangkayu, Suku Bunggu dikenal memiliki kelebihan menyelinap dan  menghilang di balik pohon dengan cepat. Beberapa warga menyebutnya  dengan nama To Pambuni.
Suku  Bunggu juga memiliki senjata rahasia yang mematikan. Orang-orang  menyebut senjata ini dengan nama sumpit. Meskipun berada dalam radius  puluhan meter, senjata ini langsung dapat mengenai lawannya. Sumpit ini  terbuat dari buluh yang bulat dan bagian tengahnya berlubang.
Penggunaan  senjata beracun yang mematikan ini dengan cara ditiup. Senjata sumpit  ini merupakan senjata kebanggan Suku Bunggu dan menjadi senjata  utamanya. Namun, mereka memiliki kekhasan tidak akan pernah mengganggu  orang lain jika tidak diganggu.
Untuk  pendekatan Suku Bunggu yang masih hidup di pedalaman dibutuhkan metode  pendekatan baru agar mereka juga dapat menikmati hidup yang lebih baik.  Tetapi, keberadaan mereka tetap harus terjaga. Naja mengaku telah sering  memanggil saudara-saudaranya yang masih tinggal di pedalaman dan hidup  berinteraksi dengan orang lain. “Tetapi kalau diajak satu atau dua tahun  tinggal bersama, mereka lari lagi ke hutan dan membuka kebun di sana.  Mungkin karena kesenangannya hidup terasing,” tandasnyaSumber : http://aalmarusy.blogspot.com/2010/10/bunggu-suku-terasing-di-mamuju.html

 

0 komentar:
Posting Komentar