“Soalnya, yang mempersatukan ratusan etnik, suku dan komunitas, penganut beberapa agama, yang hidup di atas ribuan pulau kita, hanyalah kebangsaan Indonesia. Tak ada yang lain,” katanya ketika menjadi pembicara pada Seminar Nasional yang diselenggarakan Partai Golkar (PG), di Jakarta, Sabtu (16/10/2010) malam.
Seminar bertajuk “Penataan Sistem Politik untuk Memperkokoh Nasionalisme dan Demokrasi Indonesia” ini digelar guna menyemarakkan HUT ke-46 partai berlambang pohon beringin tersebut, yang berlangsung di Aula DPP Partai Golkar, Slipi, Jakarta Barat. Di hadapan lebih 200 peserta dari berbagai latar, baik itu kalangan muda maupun politisi senior, Romo Franz Magnis-Suseno mengawali pemaparannya berjudul “Indonesia dan Nasionalismenya” dengan mengulas Pidato Bung Karno tanggal 1 Juni 1945.
“Di sana Bung Karno menempatkan ’nasionalisme’ di nomor satu dari deretan lima nilai Pancasila. Soekarno tahu mengapa,” ujarnya. Yakni, lanjutnya, hanya karena kesadaran “kita ini satu bangsa, yakni bangsa Indoensia”, sehingga masyarakat sedemikian aneka ragam yang hidup di Kepulauan Nusantara, antara Asia dan Australia atau Oseania, bisa menjadi satu Indonesia.
“Tegasnya, bagi Bung Karno, Nasionalisme adalah cinta sepenuh hati kepada Indonesia, dan rasa bangga bahwa ’kita orang Indonesia”. Inilah suatu rasa persatuan di antara orang-orang yang sedemikian berbeda, yang terbangun dalam sebuah sejarah penderitaan karena penjajahan dan perjuangan pembebasan bersama selama ratusan tahun,” ujarnya.
Sekarang, menurutnya, setelah 65 tahun kemudian, banyak orang bertanya: Apakah kebangsaan Indonesia masih berarti sesuatu bagi bangsa kita? “Lebih dari itu, muncul juga pertanyaan, apakah kenyataan bahwa kita ini Orang Indonesia masih dapat menggerakkan sesuatu dalam hati kita? Padahal, bagi Soekarno, kebangsaan merupakan sila paling inti, paling berharga dalam Pancasila,” katanya.
Dan bagi Romo Franz Magnis-Suseno, “hanya karena kebangsaan inilah, sehingga bangsa Indonesia ada”.
Selain Romo Franz Magnis-Suseno, juga tampil antara lain cendikiawan muslim Azyumardi Azra (dengan makalahnya “Nasionalisme, Etnisitas, dan Agama di Indonesia: Dinamika Hubungan Antar Masyarakat dan Negara”), Letjen TNI Pur Agus Widjojo (dengan makalah “Masalah Pertahanan dalam Era Nasionalisme Modern”), Ketua Program Pascasarjana Ilmu Politik FISIP UI, Dr Valina Singka Subekti, MSi (“Aspek-aspek Perbaikan Sistem Politik Indonesia”) dan Dr Pratikno dari UGM (“Memperdalam Demokrsi, Mengefektifkan Pemerintahan”).
“Kegiatan ini merupakan salah satu agenda utama HUT, selain Rapimnas Pertama,” kata Wakil Ketua Umum DPP PG, Theo L Sambuaga, usai mendampingi Ketua Umum DPP PG, Aburizal Bakrie membuka resmi rangkaian perayaan hari jadi partai Golkar.
Sumber : http://petiknews.com/2010/10/17/apakah-ini-indikasi-kehancuran-indonesia/
Suatu hari pada saat nya pasti terjadi keruntuhan suatu bangsa. Bangsa indonesia mirip seperti romawi, dulunya sangat kuat dan disegani bangsa2 lain (nah mungkin disini letak nasionalisme itu). Pada perjalanan nya banyak para pembesar, para pejabat yang korup, rakyat sudah bosan dan merasa dikhianati sehingga merasa malu dan tidak loyal dengan bangsanya sendiri. Mungkin dahulu banyak musuh dan lawan semua orang di bangsa ini bersatu bahu membahu, setelah merdeka dan berjaya mereka bermalas malasan dan saling mengkhianati dan menyakiti sesamanya.
BalasHapusini tandanya dunia menuju suatu era baru, dimana konsep dunia era lama sudah tidak mungkin diterapkan lagi..kalau dahulu ditandai dengan bencana alam dll sekarang dimulai dengan bencana teknologi.
BalasHapus