Jangan anggap remeh kerupuk. Meski cuma camilan, kerupuk bisa menjadi bisnis yang menjanjikan. Kesabaran Nurati merintis usaha kerupuk ikan cap Dua Mawar mengantarkannya menjadi pengusaha dengan omzet ratusan juta rupiah per bulan.
Bagi sebagian orang, makan tanpa kerupuk terasa hambar. Tapi, bagi Nurati, kerupuk bukan hanya sekadar lauk saat makan atau camilan. Kerupuk adalah sandaran hidupnya. Ya, berkat kerupuk, kini, ia bisa menjadi seorang pengusaha sukses.
Perempuan kelahiran Indramayu 24 Desember 1973 ini merupakan produsen Kerupuk Ikan Cap Dua Mawar. Omzetnya yang mencapai Rp 300 juta per bulan menjadi bukti bahwa merek Dua Mawar cukup terkenal, terutama di Jawa Timur.
Nurati tidak pernah membayangkan bisa menggapai sukses seperti sekarang. Dulu, ia hanyalah buruh di pabrik kerupuk milik kakak kandungnya. Tapi, sejak awal, perempuan yang hanya mengenyam pendidikan hingga kelas dua SMA ini memang bertekad tidak menjadi pengangguran.
Maklum, ayahnya meninggal saat Nurati masih kecil. Dan, sejak itu, ia menyaksikan bagaimana ibunya setiap hari harus membanting tulang untuk membiayai sekolah anak-anaknya. Itu pun belum cukup. Karena tak mampu memikul biaya sekolah, akhirnya, Nurati terpaksa putus sekolah.
Sejak itulah Nurati bekerja serabutan di pabrik kerupuk milik kakaknya. “Orang harus punya pekerjaan kalau tidak ingin direndahkan,” tandasnya.
Sebagai pegawai, waktu itu, Nurati memperoleh upah sekitar Rp 5.000 sampai Rp 10.000 per hari. Jika uangnya habis, ia sering menumpang makan di rumah kakaknya.
Lama kelamaan, kakaknya tak tega melihatnya bekerja serabutan. Pada 1993, Nurati mendapatkan bantuan modal berupa tepung tapioka sebanyak dua ton dari sang kakak. Ditambah modal dari tabungan sendiri, Nurati lantas mengolah tepung tapioka itu menjadi kerupuk. Meski hasilnya masih sedikit, ia mulai bisa meraih laba dari menjual kerupuk.
Melihat adiknya memiliki potensi menjadi pengusaha kerupuk, kakak Nurati lantas memberikan bantuan modal Rp 10 juta untuk memperbesar bisnis kerupuk tapioka itu.
Bisnis kerupuk Nurati pun kemudian berkembang pesat. Apalagi, pada tahun 1994, Nurati kembali mendapat pinjaman modal sebesar Rp 25 juta dari kakaknya.
Nurati lantas mulai menempelkan label Kerupuk Ikan Cap Dua Mawar pada kerupuk olahannya. Dari awal, ia memang lebih tertarik membuat kerupuk tapioka dengan campuran ikan. Sayang, makin lama, bahan baku ikan sulit didapat. Ia lantas melakukan diversifikasi dengan membuat kerupuk bawang. “Bahan baku kerupuk bawang berlimpah dan mudah dibuat,” dalih Nurati.
Seiring peningkatan permintaan, produksi kerupuk cap Dua Mawar terus meningkat, dari semula hanya 500 kilogram (kg) menjadi satu ton per hari. Nurati bahkan mampu mencicil uang pinjaman ke kakaknya.
Tekad Nurati memiliki usaha kerupuk dengan skala cukup besar mendorongnya mencari tambahan modal ke bank. Lantaran meyakinkan, ia berhasil mendapatkan pinjaman sebesar Rp 25 juta dari bank. Hasilnya, kapasitas produksi pabrik kerupuk cap Dua Mawar mengembang hingga 1,5 ton per hari.
Setelah itu, bisnis Nurati terus tumbuh tak terbendung. Ia pun memindahkan tempat usahanya ke lokasi yang lebih dekat dengan jalan raya. Maklum, rumahnya di dusun Kenanga, Blok Duku, Indramayu, sangat jauh dari jalan raya. Distribusi barang kadang terhambat. Apalagi, pabrik lamanya yang berukuran 800 meter persegi menyatu dengan rumah.
Menjual ke Sidoarjo
Nurati meminjam ke bank lagi sebesar Rp 50 juta untuk membeli petak sawah seluas 4.000 meter persegi. Ia membangun rumah serta pabrik baru di lokasi yang dekat dengan jalan raya tersebut. Ketika itu, kerupuk produksi Nurati sudah dipasarkan dengan truk ke Surabaya dan Sidoarjo.
Di pabrik baru, produksi kerupuk cap Dua Mawar melonjak menjadi dua ton per hari. Dan, kini, Nurati bisa menjual rata-rata 22 ton kerupuk sebulan. Dengan harga jual Rp 81.000 per lima kilogram, ia mengantongi omzet Rp 300 juta lebih.
Meski tak banyak memproduksi kerupuk ikan, Nurati tetap kesulitan mendapatkan pasokan ikan. Pasalnya, permintaan ikan di Indramayu terus naik dan ia harus bersaing dengan produsen kerupuk lain.
Meski begitu, Nurati tetap mempertahankan produksi kerupuk ikan untuk menjaga agar pelanggannya tidak kabur. Ia tak mau menggantinya dengan bahan esens. “Sekali kualitas turun, pembeli bakal kecewa,” katanya. Meski produksi kerupuk ikan tidak lagi sebanyak dulu, ia tetap menjaga rasa kerupuk itu agar tetap sama.
Saat ini, dengan empat mesin potong dan dua mesin pengaduk di pabriknya, Nurati telah memperkerjakan 30 karyawan. Mayoritas dari mereka adalah tetangganya.
Meski pesaing kian banyak, Nurati tetap mampu bertahan. Salah satu rahasianya, ia selalu mendampingi karyawannya saat bekerja agar kualitas tetap terjaga. Ia juga terus memperkuat pasarnya di Jawa Timur.
wirausaha, Gan !
BalasHapusSalut q ma Bu Nurati ini ^_^
BalasHapushanya bermodal tepung????
BalasHapusga salah gan...
itu kan bikin kerupuk ikan,,
y pasti harus pke ikan
terus garam
air
dll...
juga dipinjamkan modal beberpa kali oleh kakaknya..
serta pinjam pada bank...
judulnya ga masuk sama ceritanya...
gagal jadi pertamax,,,keduaxxx deh..
cerita yang kurang bisa dijadikan inspirasi untuk yang bermodal cuma 1-2 jtan, apalagi yang hanya bermodal dengkul...
BalasHapusdukungan pemerintah utk usaha yang beginian masih kurang sekali, terutama utk alur distribusi pemasaran.
BalasHapushidup wira usaha !!!