Fajar kemerahan di atas langit Papua Barat perlahan memudar, berganti biru muda berhias awan. Mentara kian meninggi menyinari bumi, lalu memantul lagi dari permukaan Teluk Doreri Manokwari.
Sungguh indah pemandangan itu, dan niscaya menceriakan siapapun yang tengah memijak tanah Negeri Ufuk Timur itu.
Tapi, bayang keceriaan itu tidak tampak di satu sudut ruang di Rumah Sakit Umum Daerah Manokwari. Memasang muka masam menahan pedih, Irene Krei [43], terbaring lemah di kamar rawat khusus korban banjir bandang Wasior, Teluk Wondama.
Perban putih yang memerah karena ternoda darah meliliti wajah, lengan, dan kakinya. Luka memar kehitaman di kepala, pipi, dada dan beberapa bagian tubuh lain darinya, terlihat samar di permukaan kulit hitamnya yang legam.
Kepalanya setengah botak, karena tim dokter mencukur rambut keritingnya di bagian depan untuk memudahkan dokter menjahit kepalanya yang terhantam kayu dan bebatuan yang dibawa banjir.
Irene adalah satu dari ratusan korban banjir Wasior yang selamat, setelah 30 menit terkubur hidup-hidup dalam lumpur, sebelum kemudian orang-orang menolongnya.
Disertai air mata meleleh dari kedus sudut matanya yang memerah karena terbentur benda keras, bendahara kantor bupati Teluk Wondama itu mulai bercerita.
Pagi itu, satu Senin yang naas, dia baru saja mengajak anak lelakinya keluar dari rumah dan mencari tempat aman karena air sudah menggenangi pekarangan rumahnhya. Suami dan anggota keluarganya yang lain sedang tidak berada di rumah di pagi hari berhujan itu.
Hujan tak henti mengguyur wilayahnya sejak dua hari terakhir, namun dia mengangggap itu biasa sehingga dia memutuskan tetap bertahan di rumah.
Baru saja dia dan anaknya keluar rumah, dia melihat ke arah satu bukit. Air luar biasa tinggi meluncur ke arahnya, seakan hendak menerkam siapa saja di bawahnya.
“Saya suruh anak saya lari, namun saya kembali masuk ke dalam rumah karena ada uang kantor di dalam kamar saya sebesar Rp30 juta,” katanya sebagaimana dikutip dari laman kantorberita ANTARA.
Merasa memegang amanat yang besar, Irene kembali ke dalam rumah dan mengambil uang itu.
Dia memang berhasil membawa Rp30 juta itu ke luar rumah, namun dia telat melarikan diri dari air yang tingginya dia sebuah begitu tinggi. Air itu menerjangnya dan dia pingsan dibuatnya.
“Uang Rp30 juta tersebut terhempas dari tangan, dan sebuah kayu besar menghantam kepala saya hingga akhirnya saya jatuh pingsan,” katanya.
Siuman dari pingsannya, dia mendapati dirinya ada dalam lumpur selama 30 menit. Wajahnya sedikit menyembul ke permukaan sehingga dia masih bisa memompa nafasnya. “Saya teriak minta tolong, tapi karena tubuh saya lemas, teriakan saya seperti sebuah bisikan saja,” kenangnya.
Tak lama kemudian, air kembali menerjang dan mendorong tubuhnya hingga ke tepi kali. Di situlah dia terbebas dari cengkraman lumpur dan bisa bangkit berdiri lagi. “Saya lihat di sekeliling saya sudah tidak beraturan, rumah-rumah roboh serta lumpur, kayu, batu dan mayat menjadi satu,” tuturnya.
Dia berjalan perlahan menjauhi kali, menuju rumahnya, hingga akhirnya berhasil menemukan orang-orang yang mulai ramai. “Saya tidak menemukan rumah saya, karena rumah saya hancur total diterjang air banjir, padahal rumah saya berbentuk bangunan permanen,” katanya.
Di situ, dia bertemu tetangganya yang akhirnya membantu membersihkan badannya yang penuh lumpur. Tetangganya itu juga segera memberi Irene makan.
Tak lama, Irene mendapati anaknya dalam keadaan selamat, namun kakinya luka berat karena tertindih material-material yang terbawa banjir. Irene mengatakan, dia trauma dengan kejadian itu dan takut kembali ke Wasior.
Meski demikian, dia bersyukur karena masih diberi kesempatan hidup, setelah nyaris tewas, terkubur lumpur selama 30 menit.
“Kalau saja saya tidak tertahan batu-batu besar di kali, mungkin saya sudah terhempas hingga ke laut,” katanya. Sampai sekarang, benak Irene terus digelayuti pertanyaan, mengapa air dalam volume begitu besar dan berkecepatan tinggi, begitu mmudah mendatangi dan meluluhlantakkan kotanya.
“Saya masih merasakan kengerian, saat menatap air dengan kecepatan tinggi itu ada di depan mata saya, saya sangat takut pada saat itu,” katanya.
Yang dia minta kini adalah keselamatan diri dan anaknya saja yang patah tulang serta mesti dirawat khusus oleh dokter ahli tulang.
Dia juga belum tahu kapan kembali ke Wasior dan membangun kembali rumahnya yang hancur. “Saya masih sangat takut kembali ke sana,” katanya.
Sabtu pekan lalu, Menteri Koordinator bidang Kesejahteraan Rakyat Agung Laksono dan Menteri Sosial Salim Segaf Al Jufri, mengunjungi Wasior untuk lebih memastikan pemerintah hadir di tengah para korban, seperti Irene, sekaligus menolong mereka.
Dua menteri itu membawa uang tunai sebesar Rp2,5 miliar yang bisa digunakan selama masa tanggap darurat. Seluruh biaya pengobatan para korban banjir Wasior ditanggung oleh pemerintah, kata Agung Laksono tegas.
Agung meminta Kementerian Kesehatan mendatangkan dokter-dokter ahli untuk para korban banjir, salah satunya dokter ahli tulang.
Menteri Sosial Salim Segaf Al Jufri mempertegas pernyataan Agung dengan mengatakan pemerintah akan menyantungi semua korban meninggal banjir Wasior dengan uang tunai, diantaranya dari yang mereka berdua bawa itu.
“Setiap korban banjir yang meninggal mendapatkan Rp4 juta yang akan diserahkan kepada ahli warisnya,” tandas Salim Segaf.
Sumber : http://berita-papua.com/new/?p=380
0 komentar:
Posting Komentar