Siapa pun tak akan menyangka bahwa leg pertama Final Piala AFF antara Malaysia versus Indonesia akan berkesudahan 3-0 untuk kemenangan tuan rumah Malaysia. Paling tidak di Indonesia, Bambang Pamungkas cs. diunggulkan memenangi final leg pertama meski sebagai tamu. Kemenangan 5-1 atas tim yang sama di laga penyisihan, ditambah konsistensi permainan, mengerek optimisme rakyat Indonesia ke titik tertinggi. Nyatanya jutaan orang terperangah melihat gawang Markus, penjaga gawang utama Timnas Indonesia digelontor tiga gol tanpa perlawanan berarti.
Siapa tidak girang melihat Tim Garuda melibas Malaysia dengan skor 5-1 dan membenamkan Laos 6-0. Lalu dengan sejumlah pemain cadangan, Thailand, yang prestasinya beberapa tahun terakhir membuat kita iri, dibungkam 2-1 lewat dua penalti yahud legendaris Tim Garuda, Bambang Pamungkas. Di semifinal, gawang timnas Filipina yang dijejali pemain naturalisasi dua kali didobrak Christian Gonzales dalam dua laga.
Di leg pertama partai final, gemuruh massa di Stadion Bukit Jalil yang didominasi warna kuning yang menjadi identitas timnas Malaysia, sudah merupakan tekanan tersendiri. Insiden sorotan laser yang membuat wasit menyela pertandingan menambah teror mental. Apa boleh buat, pasca insiden tersebut petaka tiga gol datang. Semua gol berawal dari minusnya konsentrasi pemain menjaga daerahnya. Maman sang komandan lini belakang malah membuat blunder fatal berujung gol pembuka. Nasuha yang lugas dan taktis, mendadak gamang menghadapi serangan sisi kanan tanpa dibantu Okto yang tampil lembek. Koordinasi lini belakang dan tengah hancur. Gonzales pun tak pernah mendapat umpan yang "bertaraf serius".
Dalam sepakbola, absennya konsentrasi berarti hilangnya disiplin. Hilangnya disiplin adalah lonceng kematian bagi penjaga gawang. Gol ketiga adalah gambaran terbaik betapa rapuhnya disiplin Tim Garuda minus kosentrasi.
Apa yang sebenarnya terjadi dengan timnas kita? Di tangan Alfred Riedl kita telah melihat timnas yang berbeda, timnas yang pantas dielu-elukan orang banyak. Lalu mengapa tahu-tahu kita dipermalukan begini?
Bagi saya "karya paling agung" Riedl bagi timnas kita hingga kini adalah disiplin yang dibangun melalui konsentrasi tinggi. Sepanjang turnamen, Tim Garuda boleh dibilang memiliki disiplin terbaik. Koordinasi tiap lini dirancang rapi. Empat bek yang tampil ciamik membuat duet Bustomi yang kokoh, dan Firman Utina yang cerdik mengatur serangan, leluasa memberikan bola ke sayap atau umpan panjang kepadatarget man. Tekanan pemain sayap dan wing back di tiap sisi efektif mematikan serangan tim lawan.
Riedl membangun ini mulai dari luar lapangan. Ia tahu kelemahan umum pemain Indonesia adalah mental; disiplin dan konsentrasi. Karenanya dia sadar sorak-sorai euforia yang terbuka akan membebani pemain dengan ekspektasi begitu tinggi dan melemahkannya dengan hal-hal remeh tak perlu. Ia menjaga para pemain dengan ketat, bahkan mengusir Boaz yang tak taat. Wawancara dengan media dibatasi begitu minim. Teman saya bahkan mencatat pers tak pernah berhasil mewawancarai Bambang Pamungkas selama pagelaran Piala AFF. Ya, publik memang haus melihat pujaannya, tapi kalau mau prestasi semua orang memang harus menahan diri.
Hal ini menjadi kacau ketika aktivitas-aktivitas irasional tahu-tahu digalang pengurus PSSI dan konco-konco politiknya yang mencoba "menunggangi" popularitas Firman Utina cs. Para pemain mendadak seperti barang pameran. Diajak mengunjungi tokoh anu, dijadwalkan istighosah di pesantren anu, diwawancarai dan disorot habis-habisan oleh media anu. Waktu yang sedianya dihabiskan untuk latihan, istirahat dan mengeratkan kekompakan tim, tahu-tahu beralih tak ubahnya selebrasi yang ingar-bingar
Oke, tekanan dan keriuhan adalah hal inheren dalam -setiap kompetisi seperti- sepakbola. Setiap tim yang bermain bagus akan dibebani dengan tuntutan yang kian tinggi. Pemain sepakbola modern tidak cukup hanya yahud di dalam lapangan, tapi juga mampu mengatur persoalan di luar lapangan. Tapi seriuh apa pun euforia yang dihadapi pemain, pihak manajemen, baik klub atau timnas, akan menjadi pihak yang protektif dengan aktivitas pemain di luar lapangan.
Real Madrid pernah punya David Beckham yang begitu menjual. Mereka terang-terangan menikmati status Beckham sebagai selebritas di luar lapangan demi keuntungan komersil. Tapi betapapun besar kentungan yang dikeruk Beckham, Real Madrid tidak akan pernah menyetujui kegiatan yang mengganggu latihan rutin dan istirahat pemain barang semenit pun. Hal sebaliknya malah dilakukan para petinggi PSSI. Alih-alih menjaga, mereka malah mengumbar Irfan Bachdim dkk. di tengah histeria gadis-gadis. Para pemain diperlakukan seperti Justin Bieber yang memancing massa berteriak histeris.
Alfred Riedl dan asistennya Wolfgang Pikal tak urung geleng-geleng kepala sambil memasang wajah murung memandang riuh rendah "pasar kaget" ini. Meski baru diakuinya belakangan, penonton sepakbola berpengalaman pasti tahu sejak awal bahwa pelatih dengan level disiplin seperti itu mestilah ogah direcoki dengan selebrasi model begini. Apalagi belum juara. Tapi apa boleh buat jika Ketua Umum PSSI-nya sepayah Nurdin Halid.
Di tempat lain, untuk tim yang tengah menunggu partai puncak. Manajemen akan menutup rapat-rapat akses publik kepada pemain, dan sebaliknya. Di sini PSSI seperti rumah produksi film porno; kurang gelegar kalau tak vulgar!
Kegiatan-kegiatan tak relevan yang digagas pengurus PSSI menjelang final ini menjadi bukti betapa tak pahamnya mereka dengan manajemen sepakbola. Bagaimana berbicara soal pembinaan jangka panjang, mengatur urusan turnamen yang berdurasi mingguan saja tata-cara mereka tak karuan.
Kini Tim Garuda mendapat tugas maha berat pada leg kedua babak final di Stadion GBK. Harus menang tiga gol tanpa kebobolan demi memaksakan perpanjangan waktu. Sisi positifnya, pengurus PSSI kini enggan mengintervensi otoritas pelatih kepala seperti sebelumnya. Para pemain pun tak lagi pusing dibawa kemana-mana.
Kita sebagai pendukung hanya bisa memberi teriak dukungan dan doa, sambil berharap para pemain tampil lepas dan berbuat sebaik mungkin. Mereka adalah idola kita yang terus berlari dengan kaki-kaki yang lelah, demi memberi kita antusiasme seperti yang belum pernah dialami. Mereka adalah pahlawan bangsa yang telah memberi hal yang masih sulit dipenuhi pemerintah, membuat para penjual souvenir, kaus dan pedagang kecil banjir rezeki.
Menang atau kalah Garuda tetap di dada kita.
Siapa tidak girang melihat Tim Garuda melibas Malaysia dengan skor 5-1 dan membenamkan Laos 6-0. Lalu dengan sejumlah pemain cadangan, Thailand, yang prestasinya beberapa tahun terakhir membuat kita iri, dibungkam 2-1 lewat dua penalti yahud legendaris Tim Garuda, Bambang Pamungkas. Di semifinal, gawang timnas Filipina yang dijejali pemain naturalisasi dua kali didobrak Christian Gonzales dalam dua laga.
Di leg pertama partai final, gemuruh massa di Stadion Bukit Jalil yang didominasi warna kuning yang menjadi identitas timnas Malaysia, sudah merupakan tekanan tersendiri. Insiden sorotan laser yang membuat wasit menyela pertandingan menambah teror mental. Apa boleh buat, pasca insiden tersebut petaka tiga gol datang. Semua gol berawal dari minusnya konsentrasi pemain menjaga daerahnya. Maman sang komandan lini belakang malah membuat blunder fatal berujung gol pembuka. Nasuha yang lugas dan taktis, mendadak gamang menghadapi serangan sisi kanan tanpa dibantu Okto yang tampil lembek. Koordinasi lini belakang dan tengah hancur. Gonzales pun tak pernah mendapat umpan yang "bertaraf serius".
Dalam sepakbola, absennya konsentrasi berarti hilangnya disiplin. Hilangnya disiplin adalah lonceng kematian bagi penjaga gawang. Gol ketiga adalah gambaran terbaik betapa rapuhnya disiplin Tim Garuda minus kosentrasi.
Apa yang sebenarnya terjadi dengan timnas kita? Di tangan Alfred Riedl kita telah melihat timnas yang berbeda, timnas yang pantas dielu-elukan orang banyak. Lalu mengapa tahu-tahu kita dipermalukan begini?
Bagi saya "karya paling agung" Riedl bagi timnas kita hingga kini adalah disiplin yang dibangun melalui konsentrasi tinggi. Sepanjang turnamen, Tim Garuda boleh dibilang memiliki disiplin terbaik. Koordinasi tiap lini dirancang rapi. Empat bek yang tampil ciamik membuat duet Bustomi yang kokoh, dan Firman Utina yang cerdik mengatur serangan, leluasa memberikan bola ke sayap atau umpan panjang kepadatarget man. Tekanan pemain sayap dan wing back di tiap sisi efektif mematikan serangan tim lawan.
Riedl membangun ini mulai dari luar lapangan. Ia tahu kelemahan umum pemain Indonesia adalah mental; disiplin dan konsentrasi. Karenanya dia sadar sorak-sorai euforia yang terbuka akan membebani pemain dengan ekspektasi begitu tinggi dan melemahkannya dengan hal-hal remeh tak perlu. Ia menjaga para pemain dengan ketat, bahkan mengusir Boaz yang tak taat. Wawancara dengan media dibatasi begitu minim. Teman saya bahkan mencatat pers tak pernah berhasil mewawancarai Bambang Pamungkas selama pagelaran Piala AFF. Ya, publik memang haus melihat pujaannya, tapi kalau mau prestasi semua orang memang harus menahan diri.
Hal ini menjadi kacau ketika aktivitas-aktivitas irasional tahu-tahu digalang pengurus PSSI dan konco-konco politiknya yang mencoba "menunggangi" popularitas Firman Utina cs. Para pemain mendadak seperti barang pameran. Diajak mengunjungi tokoh anu, dijadwalkan istighosah di pesantren anu, diwawancarai dan disorot habis-habisan oleh media anu. Waktu yang sedianya dihabiskan untuk latihan, istirahat dan mengeratkan kekompakan tim, tahu-tahu beralih tak ubahnya selebrasi yang ingar-bingar
Oke, tekanan dan keriuhan adalah hal inheren dalam -setiap kompetisi seperti- sepakbola. Setiap tim yang bermain bagus akan dibebani dengan tuntutan yang kian tinggi. Pemain sepakbola modern tidak cukup hanya yahud di dalam lapangan, tapi juga mampu mengatur persoalan di luar lapangan. Tapi seriuh apa pun euforia yang dihadapi pemain, pihak manajemen, baik klub atau timnas, akan menjadi pihak yang protektif dengan aktivitas pemain di luar lapangan.
Real Madrid pernah punya David Beckham yang begitu menjual. Mereka terang-terangan menikmati status Beckham sebagai selebritas di luar lapangan demi keuntungan komersil. Tapi betapapun besar kentungan yang dikeruk Beckham, Real Madrid tidak akan pernah menyetujui kegiatan yang mengganggu latihan rutin dan istirahat pemain barang semenit pun. Hal sebaliknya malah dilakukan para petinggi PSSI. Alih-alih menjaga, mereka malah mengumbar Irfan Bachdim dkk. di tengah histeria gadis-gadis. Para pemain diperlakukan seperti Justin Bieber yang memancing massa berteriak histeris.
Alfred Riedl dan asistennya Wolfgang Pikal tak urung geleng-geleng kepala sambil memasang wajah murung memandang riuh rendah "pasar kaget" ini. Meski baru diakuinya belakangan, penonton sepakbola berpengalaman pasti tahu sejak awal bahwa pelatih dengan level disiplin seperti itu mestilah ogah direcoki dengan selebrasi model begini. Apalagi belum juara. Tapi apa boleh buat jika Ketua Umum PSSI-nya sepayah Nurdin Halid.
Di tempat lain, untuk tim yang tengah menunggu partai puncak. Manajemen akan menutup rapat-rapat akses publik kepada pemain, dan sebaliknya. Di sini PSSI seperti rumah produksi film porno; kurang gelegar kalau tak vulgar!
Kegiatan-kegiatan tak relevan yang digagas pengurus PSSI menjelang final ini menjadi bukti betapa tak pahamnya mereka dengan manajemen sepakbola. Bagaimana berbicara soal pembinaan jangka panjang, mengatur urusan turnamen yang berdurasi mingguan saja tata-cara mereka tak karuan.
Kini Tim Garuda mendapat tugas maha berat pada leg kedua babak final di Stadion GBK. Harus menang tiga gol tanpa kebobolan demi memaksakan perpanjangan waktu. Sisi positifnya, pengurus PSSI kini enggan mengintervensi otoritas pelatih kepala seperti sebelumnya. Para pemain pun tak lagi pusing dibawa kemana-mana.
Kita sebagai pendukung hanya bisa memberi teriak dukungan dan doa, sambil berharap para pemain tampil lepas dan berbuat sebaik mungkin. Mereka adalah idola kita yang terus berlari dengan kaki-kaki yang lelah, demi memberi kita antusiasme seperti yang belum pernah dialami. Mereka adalah pahlawan bangsa yang telah memberi hal yang masih sulit dipenuhi pemerintah, membuat para penjual souvenir, kaus dan pedagang kecil banjir rezeki.
Menang atau kalah Garuda tetap di dada kita.
Sumber : http://blogahmadmakki.blogspot.com/2010/12/satu-catatan-pasca-kekalahan-tim-garuda.html
yah!! benar sekali,, tapi kok sudah seperti itu masyarakat penggila bola, masih juga pak Nurdin dengan PEDE-nya menenteng gelar ketua PSSI. atau gini aja, aku usul, gimana kali timnas keluar dari PSSI aja,, Ayo... sapa yang setuju, angkat jempol....
BalasHapuspertanyaannya: bgmna nasib timnas U-23+pra olimpiade kl pngurus PSSInya msih yg itu" jg..utk pndukung nurdin halid di makassar cobalah legowo kalo NH mmg wan prestasi...sudahlah smpai kapanpun kl olahraga direcoki politik ga akan maju"..kasian pemain timnas jd tumbal kpentingan pengurus PSSI..apa smpai hrus pake kkuatan rakyat utk seret NH+konco"nya..
BalasHapusnurdin.... mati wae....
BalasHapussetuju gw ama nurdin...
BalasHapusmaksudnya setuju soal pemecatan si
nurdin "ndablek" halid
mungkin dengan ke PD annya nurdin berharap dapat masuk rekor muri sebagai orang yang paling ....
BalasHapusKira2 paling apa yah ????????
Selama NH masih ngantor di PSSI selama nya akan terjadi siaran ulang,utk hal2 yg sepele mengkedepankan primordial NH sekalian kampanye
BalasHapussudah saatnya PSSI keluar dari telikungan NH
nurdin HILEUD din.... din...
BalasHapushidup nurdin halid
BalasHapusnurdin halid gak ada elu gak rame lanjutkan
BalasHapuswedoooooooooooooos, aku ja jdi ketum pssi ny, gmn setuju egk ni rkyt indonesia, anak dari barat kota palembang, hahahaha, NH u saatny di reformasi,,,
BalasHapuspostingan diatas sangat tepat sekali, teoat pada sasaran dan penuh dengan masukan positif.
BalasHapusdijamin, Nurdin Halid..........KAGAK BAKAL SUDI BACA POSTINGAN DIATAS.....!!!!
Terima kasih sudi menayangkan tulisan saya. Salam kenal.
BalasHapus