Menurut Rizal Syarief, Ketua Forum Tempe Indonesia, konsumsi tempe mengalami peningkatan pasca krisis moneter yang menerpa Indonesia.
Menariknya, lanjut Rizal, peningkatan konsumen tempe bukan hanya dari kalangan menengah ke bawah yang akrab dengan tempe, tetapi banyak juga yang berasal dari kalangan menengah atas.
Hal itu terlihat dari wilayah pemasaran tempe yang tidak lagi hanya di pasar-pasar tradisional atau pedagang keliling dari kampung ke kampung. Dengan kemasan berbeda, tempe juga bertengger di rak penjualan sejumlah toko ritel modern.
Dalam pengamatan, tempe di pasar tradisional relatif sama, baik bentuk maupun harganya, yakni antara Rp 2.000 - Rp 3.000 untuk ukuran sekitar 300 gram. Sedangkan di pasar modern, bentuk dan harganya sangat bervariasi.
Di Hypermart Royal Plaza, misalnya, tempe ukuran 300 gram berharga antara Rp 7.150 sampai Rp 8.150. Sedangkan di Bonnet Swalayan Manyar, tempe ukuran 300 gram berharga Rp 7.350.
“Mungkin, mereka (kalangan menengah atas) tahu kalau tempe bisa mencegah jantung koroner, kanker payudara, dan memiliki kandungan isoflavon yang bagus untuk kulit, sehingga mereka pun mengonsumsi tempe,” kata Rizal, di Surabaya.
Lebih lanjut Rizal mengatakan bahwa harus ada perubahan mindset yang menyatakan tempe adalah makanan tradisional berkelas rendah. Padahal, jika tempe bisa diolah dan diubah penampilannya, maka menu berbahan tempe pun dapat masuk restoran hotel berbintang.
“Setahu kita tempe paling cuma digoreng, atau dibacem, padahal bisa juga diolah menjadi lasagna atau steak. Bahkan, di Prancis, tempe mendapat julukan soy cheesse atau keju kedelai,” ujar Guru Besar Teknologi Pangan Institut Pertanian Bogor ini.
“Karena itulah kami mengusulkan standardisasi tempe untuk menjaga kualitas agar tidak kalah dengan negara lain,” tandasnya.
Standardisasi, lanjut Rizal, nantinya dilakukan pada kandungan kimia, logam berat, mikroba dan nilai gizi sehingga kualitas tempe lebih baik. Hal yang sama disampaikan Made Astawan, Wakil Ketua Forum Tempe.
Pengembangan tempe, menurut Made, diperlukan untuk membawa nama tempe menjadi lebih dikenal. Bahkan, lanjut Made, tempe bisa dikembangkan hingga tiga generasi.
Generasi pertama adalah olahan tempe seperti biasa yang wujudnya sama dengan aslinya. Generasi kedua kedelai yang tak lagi menjadi tempe, melainkan menjadi produk lain seperti tepung.
Sedangkan generasi ketiga mengolah kedelai menjadi bahan obat dan kefarmasian untuk industri. “Kita sedang mendorong untuk bisa berkembang ke arah sana,” ujarnya.
Sebelumnya, upaya untuk mempertahankan budaya asli Indonesia dari klaim pihak-pihak asing terus dilakukan berbagai pihak. Termasuk untuk makanan asli Indonesia, yakni tempe.
Forum Tempe Indonesia (FTI) tengah berupaya agar tempe produksi Indonesia menjadi patokan standardisasi tempe di dunia internasional. Mereka tengah melakukan pendekatan kepada Codex Alimentarius Commission (CAC), lembaga yang menerbitkan standardisasi produk pangan di seluruh dunia. Lembaga tersebut berdiri secara resmi di bawah Food and Agriculture Organization (FAO), badan PBB yang menangani masalah pangan di seluruh dunia.
"Tempe produk asli Indonesia. Di negara-negara lain, di bahasa apa pun, sebutannya tetap sama, yakni tempe. Karena itu, jangan sampai produk tersebut diklaim negara lain," kata Ketua FTI Prof Dr Ir Rizal Syarief DESS dalam The 3rd Soy Symposium: Health, Socio-Cultural and Market Perspectives yang diadakan di Hotel Sheraton sejak kemarin (2/8).
Upaya untuk meraih pengakuan dari CAC itu juga dilakukan FTI untuk mengamankan posisi pengusaha tempe di Indonesia. Sebab, beberapa negara, seperti Jepang, juga sedang berupaya meraih standardisasi serupa. Padahal, standardisasi produk tempe di negara-negara tersebut jelas lebih tinggi daripada di Indonesia. "Kalau sampai negara lain yang dapat, tentu sulit bagi pengusaha tempe tradisional untuk mengikuti," ujar Wakil Ketua FTI Prof Made Astawan.
Di Indonesia, menurut dia, sudah ada standardisasi tempe. Standar Nasional Indonesia (SNI) untuk tempe tersusun sejak 2009. Yakni, harus memiliki komposisi bahan yang sesuai, bebas logam berat, dan bebas dari campuran mikroba.
FTI berharap, para pengusaha tempe tradisional mampu mengikuti standardisasi tersebut. Tujuannya, kualitas tempe di Indonesia bisa ikut meningkat. Sembari terus melakukan edukasi untuk membuat para pengusaha tempe mampu berproduksi dengan lebih higienis, mereka juga berupaya memburu standardisasi dari CAC. "Prosesnya memang masih panjang. Kalau ada delapan step, kami masih berada di step satu. Tapi, kami terus berusaha," jelas Made.
Karena itu, dalam simposium yang diadakan FTI, Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya, dan didukung American Soybean International Marketing (ASA IM) itu juga diberikan penghargaan kepada pihak-pihak yang mengembangkan produksi tempe. Selain itu, diserahkan penghargaan untuk pemenang lomba kreasi tempe yang dihelat UWKMS pada 25 Juli lalu. (fn/vs/jp)
sumber : suaramedia.com
0 komentar:
Posting Komentar