28 Januari 2011

Pengalaman Seorang Dokter : Seorang Pasien Dipaksa Menelan Obat yang Tak Berhubungan Dengan Penyakitnya di Sebuah Rumah Sakit

"Saya jadi membayangkan nggak heran Ponari dkk laris, karena dokter pun ternyata pengobatannya nggak rasional, Kasihan banyak pasien yang terpaksa diracun oleh obat-obat yang nggak diperlukan dan dibuat 'miskin' untuk membeli obat-obat yang mahal tersebut. Ini belum termasuk dokter ahli yang sudah 'dibayar' cukup mahal ternyata nggak banyak menjelaskan pada pasien sementara kadang kala keluarga sengaja berkumpul & menunggu berjam-jam hanya untuk menunggu dokter visite," papar dokter Billy.
Ini mungkin tulisan yang cukup 'aneh'. Kok bisa, seorang dokter justru meminta kepada pasien untuk berhati-hati pada dokter. Tetapi inilah saran yang diberikan oleh dokter Billy sebagaimana ditulis dalam "Konsul Sehat" (http://konsulsehat/. web.id). Konsul sehat merupakan situs untuk kemajuan edukasi masyarakat di bidang kesehatan.

Seperti yang diceritakan Billy dalam artikel tersebut, selama beberapa hari dokter Billy mengurusi abangnya yang sakit demam berdarah (DBD). Dokter ini membuatkan surat pengantar untuk dirawat inap di salah satu, RS swasta yang terkenal cukup baik pelayanannya. Sejak masuk UGD Billy menemani sampai masuk ke kamar perawatan, dan setiap hari dia menunggui, jadi dia sangat tahu perkembangan kondisi abangnya.

"Abang saya paksa untuk rawat inap karenatrombositnya 82 ribu. Agak mengkhawatirkan," katanya. Padahal sebenarnya si abang menolak karena merasa diri sudah sehat, tidak demam, tidak mual; hanya merasa badannya agak lemas.

Mulai di UGD Billy sudah merasa ada yang 'mencurigakan'. Karena Billy tidak menyatakan bahwa dia dokter pada petugas di RS, jadi dia bisa dengar berbagai keterangan/penjelasan dan pertanyaan dari dokter dan perawat yang menurutnya 'menggelikan'. Pasien pun diperiksa uiang darahnya. Ini masih bisa diterima, hasil trombositnya tetap sama, 82 ribu.

Ketika abangnya akan di-EKG, si abang sudah mulai 'ribut' karena Desember lalu baru tes EKG dengan treadmill dengan hasil sangat baik. Lalu Billy menenangkan bahwa itu prosedur di RS. Tetapi yang membuat Billy heran adalah si Abang harus disuntik obat Ranitidin (obat untuk penyakit lambung), padahal dia tidak sakit lambung, dan tidak mengeluh perih sama sekali. Obat ini disuntikkan ketika Billy mengantarkan sampel darah ke lab.

Oleh dokter jaga diberi resep untuk dibeli, diresepkan untuk tiga hari, padahal besok paginya dokter penyakit dalam akan berkunjung, dan biasanya obatnya pasti ganti lagi. Belum lagi resepnya pun isinya tidak tepat untuk DBD. Jadi resep tidak dibeli, Dokter penyakit dalamnya setelah ditanya ke teman yang praktik di RS tersebut, katanya dipilihkan yang dia rekomendasikan, katanya 'bagus dan pintar', ditambah lagi dia dokter tetap di RS tersebut, jadi pagi-sore selalu ada di RS.

Malamnya via telepon dokter penyakit dalam memberi instruksi periksa lab macam-macam, setelah Billy lihat banyak yang 'nggak nyambung', jadi Billy minta Abang untuk hanya setujui sebagian yang masih rasional.

Besoknya, Billy datang ke RS agak siang. Dokter penyakit dalam sudah visite dan tidak komentar apapun soal pemeriksaan lab yang ditolak. Billy diminta perawat untuk menebus resep ke apotek. Ketika Billy melihat resepnya, dia langsung bingung. Di resep tertulis obat Ondansetron suntik, obat mual/muntah untuk orang yang sakit kanker dan menjalani kemoterapi. Padahal Abangnya tidak mual apalagi muntah sama sekali. Tertulis juga Ranitidin suntik, yang tidak perlu karena Abang tidak sakit lambung. Bahkan parasetamol bermerek pun diresepkan lagi padahal Abang sudah ngomong kalau dia sudah punya banyak.

Karena bingung, Billy sampai cek di internet, apa ada protokol baru penanganan DBD yang dia lewatkah atau kegunaah baru dari Ondansetron. Ternyata tidak. Akhirnya Billy hanya membeli suplemen vitamin saja dari resep.

Pas Billy menyerahkan obat ke perawat, dia tanya 'obat suntiknya mana?' Billy jawab bahwa pasien tidak setuju diberi obat-obat itu. Perawatnya malah seperti menantang, akhirnya dengan terpaksaBilly beritau bahwa dia dokter, dan dia yang merujuk pasien ke RS. "Abang saya menolak obat-obat . itu setelah tanya pada saya. Malah saya dipanggil ke nurse station dan diminta tandatangani surat refusal consent (penolakan pengobatan) oleh kepala perawat," papar Billy.

"Saya beritau saja bahwa pasien 100% sadar, jadi harus pasien yang tandatangani, itu pun setelah dijelaskan oleh dokternya langsung. Sementara dokter saat visite nggak jelaskan apapun mengenai obat-obat yang dia berikan. Saya tinggalkan kepala perawat tersebut yang 'bengong'," katanya.

Saat Billy menunggu Abangnya itu, pasien di sebelah ranjangnya temyata sakit DBD juga. Ternyata dia sudah diresepkan 5 botol antibiotik infus yang mahal dan sudah 2 dipakai, padahal kondisi fisik dan nasil lab tidak mendukung dia ada infeksi bakteri. Pasien tersebut ditangani oleh dokter penyakit dalam yang lain. Saat dokter penyakit dalam pasien tersebut visite, dia hanya ngomong 'sakit ya?', 'masih panas?', 'ya sudah lanjutkan saja dulu terapinya', visite nggak sampai tiga menit.

Besoknya dokter penyakit dalam yang menangani Abangnya Billy visite kembali dan tidak komentar apapun soal penolakan membeli obat yang dia resepkan. Dia hanya ngomong bahwa kalau trombositnya sudah naik maka bdleh pulang.

"Saya jadi membayangkan nggak heran Ponari dkk laris, karena dokter pun ternyata pengobatannya nggak rasional, Kasihan banyak pasien yang terpaksa diracun oleh obat-obat yang nggak diperlukan dan dibuat 'miskin' untuk membeli obat-obat yang mahal tersebut. Ini belum termasuk dokter ahli yang sudah 'dibayar' cukup mahal ternyata nggak banyak menjelaskan pada pasien sementara kadang kala keluarga sengaja berkumpul & menunggu berjam-jam hanya untuk menunggu dokter visite," papar dokter Billy.

Beberapa waktu sebelumnya Billy juga pernah menunggui saudaranya yang lain yang dirawat inap di salah satu RS swasta yang katanya terbaik di salah satu kota kecil di Jateng akibat sakit tifoid. Kejadian serupa terjadi pula, sangat banyak obat yang tidak rasional diresepkan oleh dokter penyakit dalamnya.

"Kalau ini nggak segera dibereskan, saya nggak bisa menyalahkan masyarakat kalau mereka lebih memilih pengobatan alternatif atau berobat ke LN. Semoga bisa berguna sebagai pelajaran berharga untuk rekan-rekan semua agar berhati-hati dan kritis pada pengobatan dokter," tulis Billy menutup artikelnya.

Pertanyaan kita sekarang, apakah semua pasien harus ditunggui oleh saudaranya yang dokter supaya tidak dapat pengobatan sembarangan?

Sumber : http://kiatsehat2010.blogspot.com/2010/12/pengalaman-seorang-dokter-seorang.html

28 komentar:

  1. "Oyes Chair" Gedung Berbentuk Kursi Yang Pertama dan Terluas di Dunia
    http://fenz-capri.blogspot.com/2011/01/oyes-chair-gedung-berbentuk-kursi-yang.html

    EDAN !! ML diatas panggung saat konser (BB 17++)
    http://fenz-capri.blogspot.com/2011/01/edan-ml-diatas-panggung-saat-konser-bb.html

    BalasHapus
  2. komen yang diatas mangstab...

    BalasHapus
  3. walau gue bukan lulusan kedokteran gue tahu banyak dokter indonesia yg guoblok karna gue juga pernah didiagnosa kena tifus gue harus bayar obat2 an yg mahal sampai ratusan ribu untung obatnya belum sempat gue minum ternyata gue kena gabaken (kata orang jawa). sampai sekarang gue sama keluarga gue jarang ke dokter kalau gak benar2 kepaksa / sakit paran (moga jangan deh)kalau anak gue sakit gue kasih aja air kunir ama madu atau obat tradisional lainnya. dokter sekarang banyak yg sulit dipercaya mereka cuma mentingkan materi ama jabatan. waspadalah!!!!!!!!!!!!!!!!!!!

    BalasHapus
  4. Kejadian hampir serupa jg pernah terjadi pd ayah sy, untung aja kami diberi saran berobat ke dokter asing. Ternyata hasilnya jauh berbeda, sebelumnya ayah didiagnosa wasir n harus operasi, tetapi kenyataannya sakit paru2. Alhamdulillah sembuh n untuk wasirnya sembuh dgn hnya dikompres aja.
    Sbagai org awam kita harus selalu waspada n jgn percaya dgn keterangan dr stu dokter aja. Kita juga harus lebh aktif cri info agar kejadian fatal tdk terjadi pd kita.

    BalasHapus
  5. betul masyarakat sekarang harus lebih pintar jgn sampai nurut begitu aja kata dokter karna kadang mereka cuma jual obat seperti temen ku yg jadi seles obat pernah bilang dokter bisa di suap supaya mau jual oabat tertentu. hati2

    BalasHapus
  6. ke dukun lg ajah dech.,.,hahahaaaaa

    BalasHapus
  7. makanya dokter2 indonesia banyak yg kerja di LN. alx disana dia udh g mikir gaji (so pasti gede)hanya masalah profesionalismex ja (bhkn slg berkompetisi jd dokter ahli/handal)... Klo di Indonesia profesionalismex ambruk eh yg dipikirin gmn mndptkn uang lebih... (nanay d)

    BalasHapus
  8. Artikel yg sangat bermanfaat.
    Biar bagaimanapun, pasien berhak 100% untuk menolak jasa dokter jika dianggap dokter tidak kompeten, jangan pernah takut berhadapan sama pihak rumah sakit. Inilah akibat dari kebijakan dulu dimana tidak ada batasan dokter untuk praktik, sehingga waktu menjadi hal yang sangat mahal untuk dokter dan terakhir pasien juga yang dikorbankan, terutama untuk pasien yang kurang mampu. Semua kembali ke hati nurani setiap dokter, pasti masih banyak juga dokter yang punya hati nurani, masyarakat mempunyai hak untuk memilih dan mendapatkan pelayanan kualitas 100% dari dokter manapun.

    BalasHapus
  9. Soal pengobatan di RS yang buruk, saya juga pernah mengalaminya.
    Ayah didiagnosa sakit batu ginjal, tekanan darah tinggi, kolesterol, dan 3 penyakit lain yang saya lupa namanya. Yang membuat saya agak sakit hati adalah, bisa2nya para perawat itu meminta kita terus membeli resep obat, tapi saya perhatikan mereka hanya menggunakan obat itu 1 atau 2 buah saja. Sisanya kemana? Mana mahal2 lagi!!
    Beruntunglah kami karena kami memiliki simpanan uang yang cukup sehingga pada saat kepanikan itu terjadi (masa perawatan maksud saya), kami memiliki simpanan uang yang cukup untuk membeli obat2an tsb.
    Sudah begitu, ayah saya disuruh untuk operasi pula! Tapi ayah saya menolak.
    Sekeluarnay dari RS, ayah saya lebih memilih untuk berobat ke Dokter Praktek dan syukurlah, pada pemeriksaan dokter praktek, ayah saya tidak diharuskan untuk operasi dan beliau lebih memilih menjalani pengobatan tradisional.
    Dan hal seperti ini tidak hanya dialami oleh saya, tapi seorang lain lagi yang saya kenal.
    Yang saya pikirkan dan pertanyakan dalam hati setelah itu adalah; Bukankah tugas orang yang bergerak dibidang kesehatan untuk meringankan beban penderitaan pasien? Dan soal pembelian obat, bagaimana kalau hal tsb terjadi pada orang2 yang kehidupan ekonominya sulit? Bukannya bikin sehat yang sakit tapi jadi tambah pasien deh, karena selain harus berpikir dan bekerja lebih keras lagi untuk bisa berobat.
    Bukan berarti tidak ada dokter yang baik. Hanya saja, satu atau dua dokter tidak akan berdaya menghadappi 1 rumah sakit yang berisi banyak dokter lainnya dan juga perawat yang kurang peduli pada orang lain.
    Hal ini benar2 menyesakkan!

    BalasHapus
  10. Dokter skg brengseek semua.. Otak udang, nilai beli, kualitas )0,00%.. Bangsaaaaaat!!!!!!!!!!!

    BalasHapus
  11. tes masuk fakultas kodekteran harusnya lebih ketat, jujur dan nggak pake main uang(masih mimpi hiks..hiks..) klo dah dapat calon2 dokter yang berkualitas, harus banyak beasiswa, atau uang kuliah bisa ngutang, atau gratis aja sekalian (masih belum bangun dari mimpi whoooaaaa!!!)

    BalasHapus
  12. setuju banget dgn artikel ini, kadang kita yang tidak tahu apa2 langsung tebus resepnya, yg biasanya untuk 3 hari kedepan, eh besoknya disuruh ganti seenaknya, itupun kita tidak tahu itu obat untuk apa.....

    BalasHapus
  13. aduh harusnya jd dokter yg bermoral donk jgn cuma mikir komisi dr obat yg bakalan dintrima kshn manusia2 di luar sana yg emg buth jasamu dok...........

    BalasHapus
  14. horeeeeeeeeeeeeeeee.,.,.,.

    BalasHapus
  15. apa benar ini ceritanya bukan karangan dari pengobatan alternative agar pengobatannya laku?
    bukannya saya mendukung dokternya tapi kan tidak semuanya seperti itu... toh pengobatan alternative tetap gak bisa sembuhkan kanker... dan memang seharusnya jadi pasien itu kritis... dalam peraturan kedokteran pun tertulis kalau pasien berhak tau apa saja tindakan dokter (dalam hal ini pasien juga berhak tanya ke dokter lainnya) dan fungsinya ditambah lagi pasien juga berhak menolak tindakan tersebut...

    BalasHapus
  16. bagaimana mau sehat indonesia, kalo dokternya aja kaya gitu????? TANYA KENAPA...........

    BalasHapus
  17. Harusnya para agan yg pernah mengalami kejadian tsb, terus terang aja kasih tahu ke pembaca blog ini nama oknum dokter gila + RS-nya sekalian or laporkan langsung ke IDI.
    Biar buat pelajaran agar tidak mempermainkan sumpah /kode etik dokter.

    BalasHapus
  18. dokter di indoesia emang agak payah...
    mulae masuk ke FKnya dah muahaaalll banget bayarnya...jadi banyak orang bodoh kaya yang bisa masuk...
    dah lulus diagnosa asal2an.....

    BalasHapus
  19. nila setitik, rusak susu sebelanga.
    gara2 satu dokter, langsung dicap bahwa SEMUA DOKTER GOBLOOOOOOOOOOOOOOOOGGGGG !!!

    kalo komeng proporsional napa ?, esmosi boleh tapi akal waras dipake dunk !!

    gue tau pasti akan ditimpalin komeng spt : "...pekerjaaan dokter terkait nyawa, jadi jangan main2 ....", yang niat mo main-main siapa ? satu dua oknum bisa jadi tidak profesional dan menjengkelkan, tapi apa hanya karena itu seenaknya langsung dihakimin kalo SEMUA DOKTER ITU GOBLOG ?

    jangan lupa, dokter hanya perpanjangan usaha manusia untuk berikhtiar mencari kesembuhan, DOKTER BUKAN PENYEMBUH, yang berhak menyembuhkan adalah Yang Maha Kuasa. ( ini doktrin semua mahasiswa FK saat pertama kali masuk )

    BalasHapus
  20. tidak semua dokter seperti itu...saya mengeal banyak dokter..yang tidak seperti yang anda katakan...mungkin kurang di komunikasikan aja tentang pengobatan yang beliau berikan. saya bukan dokter tapi saya mau mencoba memberikan alasan/ rasional dari pemberian obat2an itu, ondansentron/ ranitidin memang obat khusus lambung,,perbedaan keduanya hanya pada cara kerjanya yang satu melapisi lambung yang lain mengurangi produksi asam lambung,,,tujuan dari pemberian ranitidin/ondansentron oleh dokter bisa jadi karena;
    pada DBD sering diberikan antibiotik khan,,,ada antibiotik tertentu yang efek sampingnya adalah mual bahkan muntah...oleh karena itu diberikanlah anti emesis (ranitidin dan ondansentron)untuk preventif/ mencegah hal itu terjadi yang bisa memperburuk keadaan klinis pasien.
    khan seperti kita tahu pasien DBD mengalami kebocoran plasma, yang artinya ndak boleh dehidrasi......so bagaimana klo pasiennnya mual/ muntah????bukannya tambah dehidrasi....keadaan klinis pasien bisa memburuk lho...
    now I want to ask you....are you really a doctor??

    BalasHapus
  21. Saya dokter...saya suka memberi pengobatan minimal & ats indikasi, saya suka bila pasien kritis, saya suka jg mmberi saran pengobatn tradisional dgn pngaturan pola makan & life-style yg bener..
    masalahnya, byk pasien yg SOK PINTER & LEBIH SUKA SEMBUH CEPAT2, NGGA SREG KALO NGGA PAKE OBAT A,B,C,kadg MALAH NGANCAM, MAU NGADU KE DPR atw DINAS, krn mereka NGGA MAU MNJALANI PROSES, MAUNYA INSTAN..
    makanya sy ambil spesialis jiwa, pengen tahu kok banyak org yg bgitu..

    BalasHapus
  22. www.batulandak.com

    BalasHapus
  23. apresiasi untuk dr. Kia !

    dan.....yang lebih memprihatinkan lagi....yang berperilaku seperti itu justru adalah oknum2 pasien yang datang dari kelas menengah yang justru well educated, doyan browsing tapi enggan check and balance bila ada info atau rumor tentang kesehatan.

    Gemar mengHAKIMI dan nyaman dalam keBURAMan informasi adalah tradisi oknum2 dimaksud diatas.

    bisa jadi....ada bbrp praktisi medis kurang terampil dalam berkomunikasi atau dalam bertindak, tapi itu tidak berarti SEMUANYA-HARUS MESTI-OTOMATIS YAKIN-MUTLAK SELURUHNYA dan TAK TERBANTAHKAN tidak terampil.

    be wise kl kasih uneg2....tapi jangan mengadili....forum beginian bukan pengadilan apalagi pabrik opini pembunuh karakter.

    BalasHapus
  24. waktu tu di pipi gua ada bengkak so gua ke dokter
    dia bilang gua kena kanker disuruh operasi sama dia.....
    g tau nya waktu ke toko obat cina kata enkonya tu cuma bisul...
    mmg doktor-doktor jaman skrg wong edan
    masa bisul dibilang kanker, suruh orang operasi lg.
    tak da otaknya tu

    BalasHapus