19 November 2010

Israel Terima Tawaran Amerika

Pemukiman Yahudi Ramat Shlomo di Yerusalem Timur.



Presiden AS Obama ingin menghidupkan kembali perundingan langsung antara Israel dan Palestina. Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu ingin mendukung prakarsa baru AS itu karena ada imbalannya.

Menteri Pertahanan Israel Ehud Barak telah menyatakan akan menerima usulan pemerintah Amerika Serikat, untuk memperpanjang penghentian sementara pembangunan pemukiman Yahudi di wilayah yang didudukinya di Tepi Barat Yordan. Sebagai imbalannya, Israel akan menerima bantuan keamanan dan dukungan politik luar negeri dari pemerintah di Washington.

Kepada radio militer Israel, hari Senin (15/11), Barak mengatakan bahwa Israel harus menerima tawaran Amerika Serikat, agar menggiring kembali Palestina ke meja perundingan. Jika tidak, Palestina dan negara-negara Arab akan membuat perjanjian dengan Amerika Serikat, dan Israel tidak akan bisa mengambil manfaatnya.

Ehud Barak mengatakan, "Amerika Serikat sudah tepat mengharapkan dari kami, agar membicarakan masalah intinya secara serius. Mereka tidak bisa dan tidak akan mendikte kami, bahwa kami harus memenuhi tenggat waktu tertentu untuk menyepakati pengaturan perbatasan, dan hingga tenggat waktu lainnya harus menyelesaikan masalah pengungsi."

Imbalannya 20 Unit Pesawat Tempur F-35

ilustrasi pesawat tempur buatan Amerika Serikat

Seperti yang dilaporkan media Israel, pemerintah Amerika Serikat menawarkan imbalan gratis 20 pesawat tempur tipe F-35 agar Israel memperpanjang penghentian sementara pembangunan pemukiman Yahudi di Tepi Barat Yordan. Ke-20 pesawat tempur itu merupakan tambahan dari 20 pesawat jet yang sudah dijanjikan. Analisis harian Israel "Ha'aretz" menyebutkan bahwa tawaran itu terlalu bagus untuk ditolak oleh PM Netanyahu.

Selain itu, Washington akan memblokir semua rancangan resolusi terhadap Israel yang diusulkan di Dewan Keamanan PBB. Salah satunya rencana Presiden otonomi Palestina Mahmud Abbas meminta bantuan PBB untuk mengakui kedaulatan negara Palestina, jika perundingan damai gagal.

Netanyahu Dituding "Didikte Amerika"

Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu

Perdana Menteri Israel

Usulan Amerika Serikat itu di Israel memicu gejolak politik dalam negeri. Sejumlah komentar di surat kabar Israel menyebutnya sebagai "Dikte Amerika". Pemerintah di Washington bersikeras, bila perundingan perdamaian dilanjutkan kembali, yang pertama kali harus ditetapkan adalah perbatasan negara Palestina, dan dengan begitu juga perbatasan Israel.

Seperti yang dilaporkan harian Israel "Yedioth Achronoth", Perdana Menteri Netanyahu harus menyetujui mundurnya Israel ke perbatasan tahun 1967. Termasuk juga menyepakati pertukaran wilayah sebagai imbalan dari aneksasi kawasan yang dijadikan blok-blok besar pemukiman Yahudi. Dalam lingkungannya sendiri, Partai Likud, langkah Netanyahu itu ditolak habis-habisan oleh menteri-menteri dan anggota parlemen yang berpengaruh.

Anggota parlemen dari Partai Likud, Tzipi Hotovely, menyatakan, "Perdana Menteri Benjamin Netanyahu harus paham, bahwa Likud tidak akan mendampinginya, jika ia mengancam dengan moratorium berikutnya. Kami tidak bisa membiarkan kenyataan, bahwa perdana menteri ingin membuat langkah yang menentang panduan Likud. Ia menjanjikan kepada para pemilih bahwa tidak ada lagi moratorium, dan ia tidak menepati janjinya."

Benjamin Netanyahu hanya memerlukan mayoritas tipis, yaitu satu suara, dalam kabinet keamanannya untuk bisa menerapkan perpanjangan moratorium pembangunan pemukiman Yahudi selama tiga bulan lagi. Kapan Netanyahu menentukan hari pemungutan suaranya, hal itu pada dasarnya tergantung dari konsultasi intern yang terus dilaksanakan antara Netanyahu dan pemerintah AS.


Sumber : http://www.dw-world.de/dw/article/0,,6234819,00.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar