Hotel itu bernama Arcmed Al Mashtal. Sebuah hotel mewah bertingkat delapan yang dilapisi dengan lantai marmer. Sebanyak 222 kamar dengan
perabotan mewah siap menyambut tetamu. Kamar-kamar tersebut dihiasi oleh lampu berornamen, televisi layar datar dan tempat tidur besar dengan pemandangan Laut Mediterania.
Lima restoran mewah dan sebuah cafe menghadap pantai pasir putih juga terdapat di hotel tersebut. Menyajikan makanan mulai dari makanan Eropa hingga khas Arab. Minuman beralkohol jelas dilarang oleh pemerintahan Hamas. Wanita juga dilarang berenang di kolam hotel.
Hampir semuanya dimiliki hotel ini. Kekurangannya hanya satu: tamu.
Ya, hotel ini kosong melompong dari para pelanggan. Betapa tidak, hotel ini ibarat anomali di tengah masyarakat Gaza yang nestapa. Bangunan menjulang ini berdiri di tengah rakyat Gaza yang masih menggunakan keledai untuk mengangkut barang-barang mereka. Pendapatan rakyat hanya mampu untuk makan sehari-hari, bermimpi pun tidak berani untuk tinggal di hotel ini.
Turis asing juga sulit diharapkan. Akibat blokade Israel ke Gaza, hanya segelintir tetamu yang menginap, kebanyakan adalah tim bantuan asing. Pasangan muda yang berbulan madu di tempat ini dapat dipastikan merogoh kocek dalam. Sebulan terakhir, hanya 10 kamar yang tersewa. Salah satunya kamar Royal Suiteseharga US$880 atau Rp7,5 juta semalam.
Kiranya ini bukanlah mimpi yang dibayangkan oleh perusahaan investasi Padico ketika membangun hotel ini 1998 silam. Hotel seharga US$47 juta atau sekitar Rp400 miliar itu dibangun pada masa optimisme tinggi di Palestina. Kala itu, Palestina menandatangani perjanjian damai sementara dengan Israel. Diperkirakan situasi akan membaik dan turis akan berdatangan.
Namun pada 2001, ketegangan kembali terjadi. Pada 2006, pecang perang antara Israel dan Palestina, sebagian hotel hancur. Namun yang terparah adalah ketika perang sipil antara Hamas dan Fatah yang menyebabkan Gaza dikuasai Hamas. Sebanyak 180 kaca jendela hotel hancur kala itu.
Butuh Perubahan
Perbaikan juga berkendala, karena materi bangunan sulit masuk akibat blokade Gaza. Tahun ini, Padico membangun kembali hotel dengan harapan dapat untung, setidaknya untuk menutupi biaya perbaikan.
Direktur Padico, Munib al-Masri, mengatakan pembukaan hotel memang beresiko, tapi ini harus dilakukan. "Sangat beresiko, tapi kita butuh perubahan di Gaza," kata Masri.
Dengan kata lain, hotel ini sekaligus juga memuat harapan warga Palestina akan keterbukaan dan kebebasan dari belenggu blokade Israel. Harapan ini berisikan masa depan yang lebih baik, tanpa kelaparan dan penghidupan yang layak.
Salah seorang petinggi Padico mengatakan hotel akan dibuka selama beberapa tahun untuk menguji peruntungan. Jika terbukti menguntungkan, operasi akan diterukan. Jika tidak, lebih baik ditutup. Masa depan hotel ini secara tidak langsung bergantung pada masa depan politik di Palestina. Harapan kini kembali menyeruak seiring upaya rekonsiliasi kedua faksi yang telah lama bertikai.
"Kami telah melakukan tugas kami. Sisanya kami serahkan kepada para politisi dan militan," ujar sumber yang tidak ingin disebutkan namanya ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar